TENTARA
Nasional Indonesia terutama Angkatan Darat (TNI AD) sepertinya memang
selalu ingin berpolitik. Meskipun di masa reformasi ini tentara
dilarang berpolitik, tapi purnawirannya banyak yang terjun ke partai
politik. Tentu tidak salah, karena mereka pensiun sehingga bebas untuk
berpolitik. Tetapi yang kurang elok adalah ketika para pensiunan
jenderal itu ada yang kemudian saling menghujat sesama pensiunan perwira
tinggi karena mereka mendukung capres yang berbeda. Adalah Prabowo
Subianto, Capres Nomer1 yang dijadikan bulan-bulanan hujatan para
seniornya. Ada yang menyatakan bahwa Prabowo tidak pantas menjadi
presiden karena pernah dipecat dari dinas ketentaraan pada awal
reformasi dulu akibat melanggar disiplin.
Ternyata, menurut mantan perwira lainnya, Prabowo tidak dipecat
melainkan diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun. Dengan
demikian, Prabowo boleh ikut pemilu dan mencalonkan diri sebagai capres.
Jadi kenapa diributkan? Ada juga mantan perwira tinggi yang menyatakan
Prabowo berbahaya jika menjadi Presiden. Malahan dikatakannya bahwa
Prabowo itu mengidap psikopat alias gila.
Mengkritisi capres yang bukan idola kita tentu saja sangat boleh. Tapi
menghujat secara berlebihan, sungguh sangat tidak pantas apalagi sampai
menyebutnya gila. Ini karena Prabowo sudah menjalani tes kesehatan
sebelum resmi menjadi Capres dan dinyatakan lulus. Atas dasar itu maka
KPU meloloskan pencalonan Prabowo. Kalau Prabowo tidak sehat baik fisik
apalagi jiwanya, tentulah dia tidak akan dinyatakan lulus oleh para
dokter yang menguji kesehatan para capres dan cawapres. Lagipula hujatan
itu berlawanan dengan logika. Bagaimana mungkin seorang yang gila,
setelah di tes oleh ahli psikologi tentara, kemudian diberi pangkat
bintang tiga (Letnan Jenderal)? Kalau cara berpikir para Jenderal itu
dibenarkan berarti institusi TNI tidak baik karena mengangkat orang gila
menjadi jenderal.
TNI-AD itu pernah menguasai politik Indonesia selama 32 tahun kekuasaan
Pak Harto. Suka atau tidak suka, pengaruh politiknya masih ada
dikalangan masyarakat. Dengan demikian prilaku dan ucapan para
prajurit, perwira dan para purnawirawannya masih dipedomani oleh
masyarakat. Karena itu hujatan terhadap Prabowo itu sungguh merusak
wibawa dan citra TNI-AD. Dalam kehidupan ini, irihati atau ketidaksukaan
terhadap prestasi orang lain merupakan hal biasa. Masalahnya adalah
bagaimana menyuarakan ketidaksukaan itu dengan cara yang lebih santun
dan beretika. Cara yang lebih santun dan beretika itu, antara lain,
adalah dengan ikut dalam kompetisi untuk bersaing dengan orang yang
tidak kita sukai itu. Konkritnya, jika kita tidak menyukai orang lain
menjadi presiden, seharusnya kita juga ikut menjadi capres atau
cawapres, bukan dengan berdiri di belakang sambil mencaci maki.
Untunglah sebagian besar pensiunan TNI merasa sangat tidak enak melihat
hujat menghujat tersebut. Sebagian dari mereka kemudian melakukan demo
di depan kantor Pepabri menuntut agar hujat menghujat itu dihentikan.
Hampir bersamaan Persatuan Purnawirawan AD (PPAD) juga mengeluarkan
edaran menyesalkan peristiwa tersebut dan meminta anggota-anggotanya
agar menjaga prilaku dan ucapan mereka. Untung juga Prabowo bersikap
legowo dengan tidak membalas cacian seniornya tersebut sehingga tidak
makin ribut.
Sebagai warga sipil, kita menyesalkan timbulnya konflik antara para
mantan perwira tinggi tersebut. Ambisi dan irihati memang sering
membikin hati kita tertutup. Karena itu sebaiknya semua pihak segera
menghentikan cara-cara berkampanye yang sangat tidak etis tersebut dan
memulai persaingan secara sehat. Demokrasi di negara kita memang baru
seumur jagung. Kita butuh waktu untuk mempersiapkan para tokoh dan
warga Indonesia agar mampu bersaing secara sehat dan menjunjung etika.
Seharusnya para tokoh baik sipil maupun mantan militer bisa memberi
contoh bagaimana bersaing secara sportif. Jadi, apabila memang merasa
tidak mampu bersaing, akan lebih baik jika kita berdiam diri saja.
(AmirSantoso), Sumber Koran: Pelita (18 Juni 2014/Rabu, Hal. 04) TNI-AD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar