Minggu, 22 Juni 2014

Patkor Malindo 124/14 Resmi Ditutup

                                                            KRI Siribua & KRI Alamang [Foto : Malaysia flying herald

Pen Lantamal I Patroli Terkoordinasi (Patkor) antara Angkatan Laut Malaysia-Indonesia (Patkor Malindo) 124/14 yang dilaksanakan diperairan perbatasan Selat Malaka resmi ditutup. Penutupan patroli terkoordinasi dengan melibatkan 4 unsur kapal perang kedua negara itu ditutup di Mako Lantamal I Belawan, Selasa (17/6).

Danlantamal I Belawan, Laksamana Pertama TNI Pulung Prambudi melalui Kepala Dinas Penerangan (Kadispen), Kapten Laut (P) Umar dalam keterangan persnya mengatakan, patroli terkoordinasi tersebut secara resmi ditutup oleh Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) Patkor Malindo 124/14, Mayor Laut (P) Dwi Afandi SE, dengan dihadiri delegasi Tentara Laut Diraja Malaysia, KDR Muhamad Herman Bin Mat Isa.

“Patkor Malindo 124/14 yang sebelumnya dibuka di Langkawi, Malaysia itu melibatkan kapal perang dari TNI AL antara lain KRI Alamang-644 dan KRI Siribua-859. Sedangkan dari unsur Tentara Laut Diraja Malaysia (TDLM) melibatkan kapal KD Handalan serta KD Ganyang,” katanya.

Patroli tersebut sambungnya, selain bertujuan untuk mempererat hubungan dan meningkatkan profesionalisme Angkatan Laut antara kedua negara, juga bertujuan untuk mengamankan perairan Selat Malaka dari berbagai ancaman dan gangguan keamanan di laut antara lain, illegal fishing, illegal logging, perompakan, penyelundupan dan lain-lain.

“Diharapkan patroli ini memberikan dampak situasi yang kondusif bagi masyarakat internasional pengguna jalur laut perairan Selat Malaka dan meningkatkan citra yang baik khususnya keamanan jalur laut Internasional di mata masyarakat dunia,” ujar Kadispen Lantamal I.

Hadir dalam acara tersebut LO TNI Angkatan Laut, Mayor Laut (P) Ibni Jauhari, Komandan KRI Alamang-644, Mayor Laut (P) Bambang Budi Raharjo, Komandan KRI Siribua-859, Kapten Laut (P) Rahmad Arief dan pejabat teras Lantamal I Belawan. Sedangkan dari TDLM tampak hadir LT KDR Mohd Rukiman Bin Abdul Manaf, LT KDR Mohd Amin Bin Hj MD Abdul Wahab dan LT KDR Suhaimi Bin Jumahad.

semua foto dari Malaysia Flying Herald

Industri Propelan Dibangun di Subang dengan Investasi Rp 20 Triliun

Bordeaux ● PT Dahana menggandeng anak perusahaan Artha Graha, Indo Pacific Communication and Defence untuk membuat perusahaan patungan bagi industri propelan dengan dua perusahaan Prancis Roxel dan Eurinco. Perusahaan munisi yang akan dibangun di Subang itu akan menelan investasi US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 20 triliun. Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin meminta agar pembangunan industri propelan di Subang bisa direalisasikan sebelum bulan Oktober.

Saat mengunjungi Industri Propelan Roxel di Bordeaux, Prancis, Jumat (20/6/2014), Sjafrie mengatakan perjanjian kerja sama pertahanan antara Pemerintah Indonesia dan Prancis harus direalisasikan ke dalam kegiatan nyata. Ia mengapresiasi langkah yang ditempuh PT Dahana dan Roxel untuk membuat perusahaan patungan.

"Saya sangat mengharapkan rencana pendirian perusahaan patungan antara Dahana dan Roxel di Subang bisa segera berjalan. Saya akan membantu agar produk industri propelan nanti tidak hanya dipakai oleh TNI, tetapi juga oleh negara-negara ASEAN," kata Sjafrie.

Presiden Direktur Roxel, Jacques Desclaux mengaku kaget atas semangat yang diperlihatkan Wamenhan. Ia akan berusaha dengan PT Dahana untuk bisa segera melaksanakan rencana pembangunan industri propelan di Subang.

 Investasi Rp 20 triliun 

Direktur Utama PT Dahana F. Harry Sampurno melihat pembangunan industri propelan merupakan sesuatu yang harus dilakukan Indonesia. Masalahnya, sekarang ini hampir semua kebutuhan amunisi bagi TNI dipenuhi dari impor.

"Pengadaan amunisi melalui impor sangatlah riskan. Pertama, pasokan kebutuhannya tergantung kepada pasokan pihak produsen. Kedua, jumlah impor amunisi mudah diketahui negara lain dan itu berkaitan dengan kemampuan pertahanan negara kita," kata Harry.

Atas dasar itu PT Dahana mendukung langkah Kementerian Pertahanan untuk membangun industri propelan di dalam negeri. Kehadiran industri propelan akan memperkuat kemampuan pertahanan Indonesia.

Menurut Harry, PT Dahana sudah menyiapkan lahan bagi pembangunan industri propelan di Subang. Di sanalah diharapkan bisa dibangun industri propelan yang bukan hanya memasok kebutuhan TNI, tetapi juga untuk keperluan ekspor.

Harry merasa bersyukur bisa bekerja sama dengan Roxel dan juga Eurinco. Sebab, Roxel sudah mengembangkan munisi dan industri propelan sejak tahun 1660. Investasi yang diperlukan untuk membangun industri propelan, menurut Harry, diperkirakan mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 20 triliun. Indonesia akan memiliki 51 persen saham, sementara Roxel dan Eurinco sebanyak 49 persen.

Anggota Komite Kebijakan Industri Pertahanan Muhammad Said Didu mengatakan kerja sama yang dilakukan PT Dahana dan Roxel serta Eurinco sangat baik bagi Indonesia. Dengan model membentuk perusahaan patungan, maka Indonesia akan terlibat langsung dalam proses produksi, sehingga alih teknologi bisa terjadi.

"Pihak Roxel akan menyerahkan seluruh kepemilikan saham kepada Indonesia apabila putra-putra Indonesia bisa mengerjakannya sendiri. Divestasi itu diperkirakan akan terjadi setelah enam tahun perusahaan berjalan," kata Said Didu.

Untuk memenuhi kebutuhan investasi, PT Dahana menggandeng anak perusahaan Kelompok Artha Graha untuk bergabung. Apabila groundbreaking bisa dilaksanakan bulan Oktober, pembangunan industri propelan diharapkan bisa selesai dalam waktu 40 bulan.

Produk munisi yang dihasilkan akan mampu memenuhi kebutuhan peluru yang diperlukan TNI dan juga peluru kendali. Bahkan peluru kendali yang diproduksi bisa berbentuk peluru kendali dari darat ke darat, dari darat ke udara, dan dari udara ke udara.

*DETIK*

Selama Sebulan, Koarmabar Periksa 109 Kapal

Unsur-unsur KRI yang berada di bawah jajaran Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) yang melaksanakan operasi pengejaran, penangkapan dan penyelidikan selama bulan Mei 2014, telah berhasil menangkap dan memeriksa 109 kapal dari berbagai jenis.

Operasi yang dilaksanakan di wilayah perairan bagian barat Indonesia itu dilaksanakan secara berkesinambungan dan melibatkan 23 unsur KRI dari Satuan Kapal Eskorta (Satkor) Koarmabar, Satuan Kapal Cepat (Satkat) Koarmabar, Satuan Kapal Paroli (Satrol) Koarmabar dan Satuan Kapal Amfibi (Satfib) Koarmabar.

Kegiatan operasi tersebut selalu dilaksanakan secara terus-menerus sepanjang tahun dan berkesinambungan dalam rangka mencegah secara dini dan meminimalisir tindak pelanggaran yang terjadi di laut. Selain itu juga guna menjaga keamanan perairan untuk memberikan rasa aman bagi para pengguna laut.

Dari 109 kapal yang diperiksa, 2 kapal diberkas untuk proses lebih lanjut. Sementara itu khusus bagi KRI Alamang-644 yang dikomandani Mayor Laut (P) Bambang mendapatkan apresiasi positif dari Pangarmabar Laksamana Muda (Laksda) TNI I.N.G.N Ary Atmaja, S.E., karena berhasil memeriksa 13 kapal dari berbagai jenis selama kurun waktu satu bulan.

KRI Alamang-644 merupakan kapal perang jenis kapal cepat rudal (KCR) 40 hasil karya anak bangsa yang diproduksi galangan kapal di Batam Kepulauan Riau. Kapal perang ini dilengkapi dengan sistem persenjataan modern berupa Sensor Weapon Control (Sewaco), meriam kaliber 30 MM 6 laras sebagai Close in Weapon System (CIWS) dan peluru kendali serta mampu berlayar dengan kecepatan 30 knot.


(dispenarmabar/sir)
Teks Gbr- KRI Alamang-644 salah satu unsur Koarmabar sedang melaksanakan operasi keamanan laut di Natuna.

*POSKOTA*

Perwira

TENTARA Nasional Indonesia terutama Angkatan Darat (TNI AD) sepertinya memang selalu ingin ber­politik. Meskipun di masa reformasi ini tentara dila­rang berpolitik, tapi purnawirannya banyak yang ter­jun ke partai politik. Tentu tidak salah, karena mer­eka pensiun sehingga bebas untuk berpolitik. Teta­pi yang kurang elok adalah ketika para pensiunan jenderal itu ada yang kemudian saling menghujat sesama pensiunan perwira tinggi karena mereka mendukung capres yang berbeda. Adalah Prabowo Subianto, Capres Nomer1 yang dijadikan bulan-bu­lanan hujatan para seniornya. Ada yang menyatakan bahwa Prabowo ti­dak pantas menjadi presiden karena pernah dipecat dari dinas ketentara­an pada awal reformasi dulu akibat melanggar disiplin.

Ternyata, menu­rut mantan perwira lainnya, Prabowo tidak dipecat melainkan diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun. Dengan demikian, Prabowo boleh ikut pemilu dan mencalonkan diri sebagai capres. Jadi kenapa diri­butkan? Ada juga mantan perwira tinggi yang menyatakan Prabowo ber­bahaya jika menjadi Presiden. Malahan dikatakannya bahwa Prabowo itu mengidap psikopat alias gila.

Mengkritisi capres yang bukan idola kita tentu saja sangat boleh. Tapi menghujat secara berlebihan, sungguh sangat tidak pantas apalagi sam­pai menyebutnya gila. Ini karena Prabowo sudah menjalani tes kesehat­an sebelum resmi menjadi Capres dan dinyatakan lulus. Atas dasar itu maka KPU meloloskan pencalonan Prabowo. Kalau Prabowo tidak sehat baik fisik apalagi jiwanya, tentulah dia tidak akan dinyatakan lulus oleh para dokter yang menguji kesehatan para capres dan cawapres. Lagipula hujatan itu berlawanan dengan logika. Bagaimana mungkin seorang yang gila, setelah di tes oleh ahli psikologi tentara, kemudian diberi pangkat bintang tiga (Letnan Jenderal)? Kalau cara berpikir para Jenderal itu dibenarkan berarti institusi TNI tidak baik karena mengangkat orang gila menjadi jenderal.

TNI-AD itu pernah menguasai politik Indonesia selama 32 tahun kekua­saan Pak Harto. Suka atau tidak suka, pengaruh politiknya masih ada dikalangan masyarakat. Dengan demikian prilaku dan ucapan para praju­rit, perwira dan para purnawirawannya masih dipedomani oleh masyara­kat. Karena itu hujatan terhadap Prabowo itu sungguh merusak wibawa dan citra TNI-AD. Dalam kehidupan ini, irihati atau ketidaksukaan terhadap prestasi orang lain merupakan hal biasa. Masalahnya adalah bagaimana menyuarakan ketidaksukaan itu dengan cara yang lebih santun dan be­retika. Cara yang lebih santun dan beretika itu, antara lain, adalah dengan ikut dalam kompetisi untuk bersaing dengan orang yang tidak kita sukai itu. Konkritnya, jika kita tidak menyukai orang lain menjadi presiden, seha­rusnya kita juga ikut menjadi capres atau cawapres, bukan dengan berdiri di belakang sambil mencaci maki.

Untunglah sebagian besar pensiunan TNI merasa sangat tidak enak me­lihat hujat menghujat tersebut. Sebagian dari mereka kemudian melaku­kan demo di depan kantor Pepabri menuntut agar hujat menghujat itu dihentikan. Hampir bersamaan Persatuan Purnawirawan AD (PPAD) juga mengeluarkan edaran menyesalkan peristiwa tersebut dan meminta ang­gota-anggotanya agar menjaga prilaku dan ucapan mereka. Untung juga Prabowo bersikap legowo dengan tidak membalas cacian seniornya terse­but sehingga tidak makin ribut.

Sebagai warga sipil, kita menyesalkan timbulnya konflik antara para mantan perwira tinggi tersebut. Ambisi dan irihati memang sering mem­bikin hati kita tertutup. Karena itu sebaiknya semua pihak segera menghentikan cara-cara berkampanye yang sangat tidak etis tersebut dan memu­lai persaingan secara sehat. Demokrasi di negara kita memang baru seu­mur jagung. Kita butuh waktu untuk mempersiapkan para tokoh dan war­ga Indonesia agar mampu bersaing secara sehat dan menjunjung etika. Seharusnya para tokoh baik sipil maupun mantan militer bisa memberi con­toh bagaimana bersaing secara sportif. Jadi, apabila memang merasa tidak mampu bersaing, akan lebih baik jika kita berdiam diri saja.

(AmirSantoso), Sumber Koran: Pelita (18 Juni 2014/Rabu, Hal. 04) 
 TNI-AD 

[America] CISEN Meksiko, Musuh Kartel Narkoba

Hampir 963 bentrokan antara aparat dengan geng terjadi dalam sehari

 CISEN, Badan Intelijen meksiko.(Ist)    Meksiko pernah menyatakan perang terhadap kartel narkoba. Pernyataan perang terhadap obat-obatan terlarang itu dicanangkan oleh Presiden Meksiko, Felipe Calderon, pada 2006 silam yang telah memakan korban kurang lebih 28 ribu orang.

Sebuah angka yang menakjubkan jika dibandingkan dengan angka estimasi yang hanya berkisar pada 24 ribu orang tewas. Perang ini ditujukan untuk membangun kondisi perdamaian dan memulihkan kontrol daerah yang dipengaruhi oleh kejahatan terorganisir.

Sebagaimana diketahui dunia, di Meksiko sering terjadi bentrokan antara aparat keamanan dengan geng obat-obatan terlarang atau narkoba. Itu bisa terjadi tiap hari. Bahkan sejak Calderon menjabat, rata-rata hampir 963 bentrokan antara aparat dengan geng terjadi dalam sehari.

Dan yang menjadi korban tewas biasanya dari pihak geng. Dalam penangkapan, polisi biasanya tidak hanya mengamankan obat-obatan, melainkan juga menyita aneka ragam senjata. Untuk itu, upaya mengurangi kapasitas operasional geng-geng criminal selalu dijalankan dan akan terus ditempuh.

Pemerintah, dalam hal ini diharuskan berbuat lebih banyak. Selain itu, sudah menjadi tugas pemerintah mengatasi pencucian uang dan memperkuat lembaga-lembaga publik yang terlalu lemah untuk menjamin keamanan dan keadilan.

Pemerintah Meksiko juga memiliki tantangan yang juga tidak kalah beratnya yaitu keterlibatan aparat dengan genggeng narkoba.

Dalam hal ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pasukan polisi baik negara maupun local yang berada di bawah kendali geng narkoba.

Namun, situasi dan kondisi seperti itu tidak hanya menjadi tantangan pemerintah secara umum, namun bagi CISEN (Centro de Investigación y Seguridad Nacional-Center for Investigation and National Security), yaitu, badan intelijen Meksiko yang berdiri sejak 1989 setelah dinas rahasia sebelumnya tidak beroperasi lagi.


Sebelum CISEN dikenal sebagai dinas intelijen, Meksiko memiliki badan keamanan yang dikenal dengan The Federal Directorate of Security (FDS).

FDS, badan keamanan utama yang berada di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri ini aktif sejak 1940 hingga akhirnya dibubarkan pada 1985.

Badan ini ditugaskan untuk menjaga stabilitas internal terhadap aksi-aksi subversi dan ancaman teroris. FDS juga bertanggung jawab menyelidiki masalah keamanan nasional dan melakukan tugas-tugas khusus lainnya menurut arahan presiden.

Di negara ini, FDS bertindak sebagaimana dinas federal anti obat bius Amerika Serikat, DEA (Drugs Enforcement Agency). Dalam operasinya, FDS memiliki perbedaan dengan dinas lainnya. Semua agennya tidak berpakaian seragam, melainkan berpakaian layaknya preman
Keterlibatan agen-agen FDS dalam perederan narkoba
Perang Narkoba – Setiap penangkapan mafia narkotika, selain obatan-obatan, aparat mengamankan bermacam senjata.(Ist) FDS juga pada dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum atau wewenang dalam penangkapan dan mengumpulkan bukti. Tapi dalam kenyataan di lapangan, FDS sering terlibat dalam aksi-aksi kekerasan dan penindasan terhadap warga.

Pada tahun-tahun terakhir keberadaannya, FDS memiliki anggota sekitar 2.000 personil. Dari jumlah itu, tidak sedikit yang terlibat dalam peredaran narkoba.

Disinyalir, keterlibatan agen-agen FDS dalam perederan narkoba menjadi factor dibubarkannya badan ini yang kemudian dibentuk badan baru, yaitu CISEN.

CISEN positif berdiri pada tahun 1989. Secara formal, badan intelijen utama ini memiliki fungsi mengartikulasikan prinsip-prinsip intelijen seperti halnya dengan CIA atau KGB Soviet.

Meskipun fungsi utamanya adalah untuk spionase dan analisis informasi strategis, tapi, CISEN di masa lalu itu memiliki peran untuk menekan kelompok-kelompok oposisi.

Sama seperti pendahulunya, dinas ini merupakan lembaga sipil yang berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Misinya untuk menghasilkan atau mendapatkan informasi intelijen guna terciptanya keamanan negara.

Meskipun secara resmi di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, tapi operasi CISEN berada di bawah kontrol langsung presiden. Begitu pula, meskipun tugasnya terkait dengan pengumpulan informasi intelijen, tugas CISEN juga telah diperluas mencakup kegiatan jajak pendapat, analisis politik dan sosial dalam negeri.

Keberadaan CISEN merupakan wujud dari penyegaran di bidang penanganan keamanan nasional. Tindakan-tindakan brutal dan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis oleh FDS selalu menjadi memori tersendiri para korban dan masyarakat luas.

Sebuah kelompok pembela HAM mencatat bahwa telah terjadi praktek-praktek penyiksaan, penangkapan, penahanan secara sewenang-wenang, dan kekejaman lainnya yang dilakukan FDS terhadap pribadi atau kelompok masyarakat.

Namun, pada 1990-an, tindak kekerasan tersebut mulai menurun sejalan dengan kebijakan pemerintah yang berupaya keras mengusut para pelaku, terutama agen-agen atau personil-personil badan keamanan Meksiko.

Upaya konkrit yang dilakukan pemerintah untuk menindak para pelaku kekejaman itu terwujud dalam pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Comisión Nacional de Derechos Humanos–CNDH) pada 1990. Dua tahun kemudian, CDNH diberi wewenang penuh secara konstitusional untuk mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM.

Dua tahun kemudian, komisi ini sudah berdiri di berbagai daerah di seluruh Meksiko. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, sebanyak 82 orang ditangkap. 20 di antaranya dipenjara yang rata-rata tidak kurang dari lima tahun lamanya.

Menurut Amnesty International, pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan personil-personil FDS berupa pemukulan, setrum listrik, disudut rokok dan penyiksaan-peyiksaan secara psikologis.

Kebanyakan para korban adalah tersangka kriminal, pemimpin adat, aktivis-aktivis yang terlibat dalam demonstrasi atau aksi-aksi lainnya. Saat ini CISEN masih terus mengembangkan operasinya untuk memenuhi kewajibannya turut menciptakan keamanan nasional.

Salah satu pekerjaan rumahnya adalah perang terhadap kartel narkoba yang dicanangkan sejak 2006 silam. Kepala CISEN, Guillermo Valdes melihat adanya kemajuan dalam menangani peredaran narkoba di Meksiko. Sedikit demi sedikit kekuasaan kartel narkotika di Meksiko semakin teratasi.

Salah satu bukti keberhasilan pemerintah Meksiko dalam menangani kartel obat-obatan ini adalah ketika pada akhir Maret 2010 polisi berhasil meringkus Jose Antonio Media alias Don Pepe, gembong narkoba kelas kakap.

Raja heroin ini dikabarkan sebagai otak pengiriman 200 kilogram heroin perbulan dari Meksiko ke Amerika Serikat. Ia juga dituding bertanggungjawab atas pengelolaan heroin dalam skala besar yang diselundupkan ke California, Amerika Serikat. Karenanya, ia dikategorikan sebagai pemasok utama bagi kartel narkoba La Familia.

Tertangkapnya Don Pepe ini merupakan satu dari kompleksnya kasus serupa yang melanda negara ini. Perang terhadap kartel narkoba adalah pekerjaan rumah pemerintah dan juga masyarakat Meksiko.

Masih terkait dengan ganasnya kartel narkoba, baru-baru ini Calderon mencium gelagat gerakan mereka. Dari sekadar mencari uang, aktivitas mereka terindikasi ingin mengganti struktur pemerintahan dan memberlakukan hukum mereka sendiri.

Hal ini ditegaskan Calderon baru-baru ini pada penutupan konferensi anti kejahatan di Mexico City, 4 Agustus 2010. Presiden memperingatkan semua pihak bahwa gerakan para kartel narkoba sudah melampaui motif dasar. Oleh karena itu, perang terhadap mereka harus terus ditingkatkan.
*INTELIJEN

[ASEAN] CARAT-Wira Elang dan Cope Taufan 2014 Tetangga Jiran

Tanggal 9 Juni 2014 yang lalu sampai dengan 20 Juni 2014, pesawat tempur dan helikopter Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) dan Royal Malaysia Air Force (RMAF) alias TUDM, melakukan latihan tempur bersama dengan sandi Cope Typhoon 2014 yang kalau di melayukan menjadi Cope Taufan. Latihan bilateral ini menandai beberapa tonggak kemajuan hubungan pertahanan antara Malaysia dan USA.

 
Armada yang terlibat :

 TUDM 

6 dan 15 SKN – BAE Systems Hawks 208
11 SKN – Sukhoi Su-30MKM
17 SKN – Mikoyan MiG-29
18 SKN-Boeing F/A-18D Hornets

 USAF 

131 Fighter Squadron, 104th Fighter Wing, Barnes Air National Guard Base, Massachusetts (F-15C)
199 Fighter Squadron, 154 Wing, Pangkalan Bersama Pearl Harbor-Hickam, Hawaii (F-22A)
19th Fighter Squadron, 154 Wing, Pangkalan Bersama Pearl Harbor-Hickam, Hawaii (F-22A)
36th Airlift Squadron, 374 Airlift Wing, Yokota Air Base, Jepang (C-130)
517 Airlift Squadron, 3rd Wing, Pangkalan Bersama Elmendorf-Richardson, Alaska (C-17)
535 Airlift Squadron, 15 Wing, Pangkalan Bersama Pearl Harbor-Hickam, Hawaii (C-17)
204 Airlift Squadron, Wing 154, Pangkalan Bersama Pearl Harbor-Hickam, Hawaii (C-17)

Latihan Cape Taufan 2014 melibatkan 3 pangkalan udara TUDM yaitu : Butterworth, Kuantan dan Subang dekat ibukota Malaysia Kuala Lumpur. Di Pangkalan udara ini akan dilakukan latihan direktorat dan fleksibilitas dalam menggunakan aset udara sebagai misi yang dapat digunakan untuk berbagai kepantingan di Laut Andaman di sebelah barat atau ke timur di Laut China Selatan.

Sebuah pernyataan dari Pacific Air Forces AS mengatakan: “Cope Taufan merupakan kesempatan yang baik untuk meningkatkan kesiapan gabungan dan kerjasama antara USA dan Malaysia, Latihan ini dititik beratkan pada superioritas udara, dukungan udara dekat, airlift dan dukungan udara taktis, serta peran SAR tempur. Latihan perang ini bisa dibilang adalah pertukaran teknik dan prosedur untuk meningkatkan kerjasama antara USA dan Malaysia”
 Dari latihan ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pertama, enam F-22As Raptor yang berdatangan sejak tanggal 6 Juni 2014, membuat RMAF adalah angkatan udara pertama di ASEAN yang mendapat kesempatan menjajal kemampuan Raptor ini dalam manuver-manuver latihan. Nilai belajar untuk RMAF yang didapat adalah keinginan untuk memaksimalkan kemampuan pilot-pilot mereka saat mendapatkan “sparing partner” pilot-pilot asli dari F-22 Raptor dan F-15 Eagle. Soalnya jarang-jarang pilot-pilot mereka mendapatkan kesempatan langsung seperti ini, latihan langsung dengan F-22As Raptor di wilayah udara mereka sendiri.

Sementara dari sudut pandang USA, pilot-pilot mereka mungkin akan menikmati kesempatan untuk terbang bertempur melawan pesawat tempur MiG-29 dan Su-30 yang nota bene buatan Rusia, yang bisa dibilang adalah musuh sejati mereka, alias pesawat-pesawat ini lah yang diprediksi akan sering dihadapi oleh petempur mereka.

Kedua, Cope Taufan akan melihat militer Amerika Serikat mengerahkan Joint Deployable Electronic Warfare Range (JDEWR) ke Malaysia untuk pertama kalinya. Bantuan Pelatihan ini harus memberikan nilai tambah pada TUDM karena akan memungkinkan fighters-fighters Malaysia untuk memahami dan menghargai bagaimana taktik tempur udara harus dilaksanakan. Hal ini dapat menimbulkan pergeseran pola pikir Malaysia dari pandangan platform sentris perang ke jaringan-enabled yang melibatkan platform yang terintegrasi bekerja sama satu sama lain. Hal itu akan menandai pergeseran paradigma dalam cara dan taktik bertempur mereka.

Ketiga, kuantitas dan kualitas aset udara Amerika yang diboyong ke Malaysia dalam latihan ini merupakan sinyal bahwa USA memang terlibat dalam kestabilan regional. Karena sebelumnya Singapura pun telah melaksanakan latihan serupa dengan sandi Tempa Saber yang dilaksanakan di Amerika sana. Hal ini menunjukkan bahwa USA memiliki alternatif lain kehadiran militernya di Asia Tenggara dan siap untuk bekerja sama dengan negara mitra selain Singapura.

Selain latihan tempur di udara, USA dan Malaysia juga melakukan latihan bersama unsur darat dengan sandi CARAT-Wira Elang (Wira adalah bahasa Melayu untuk Hero). Dimana skenario dalam latihan ini adalah menyerang dari laut, Pasukan gabungan mereka menyerbu pantai di Tanjung Resang, di utara Mersing. Latihan yang dimulai sejak tanggal 31 Mei 2014 ini melibatkan 729 orang prajurit dari kedua pihak
 Armada yang digunakan dalam penyerbuan pantai ini adalah LCAC hovercraft, ATM Vamtacs dan USMC Hummers, yang dilepaskan dari USS Ashland (LSD-48). Sementara kekuatan pendarat Malaysia terdiri dari unsur-unsur 9 RAMD (Para) (Rejimen Askar Melayu Diraja), yang merupakan bagian dari retak 10 Brigad Para (10th Parachute Brigade) dan Pasukan Atur gerak CEPAT atau (Rapid Deployment Force) angakatan darat Malaysia.

Sekedar catatan : Pasukan dari 9 RAMD ini merupakan Batalyon terjun payung (LINUD kalo di TNI) dan juga spesialis pendaratan amfibi
Pada CARAT-Wira Elang kemarin, pasukan Malaysia setelah mendarat melakukan pertahanan udara di pantai pendaratan dengan mengerahkan unit MANPADS dengan tujuan melindungi gelombang berikutnya pasukan pendarat dari serangan oleh pesawat tempur musuh yang terbang rendah atau helikopter yang mencoba menyerang. Kemudian kekuatan gabungan tersebut melanjutkan pertempuran mengalahkan infanteri musuh dan peperangan hutan di Bukit Sisek, Mersing, yang menguasai area tersebut.

Dari latihan ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

Bahwa latihan mereka ini bisa jadi merupakan satu pematangan taktik, kerjasama dan keupayaan operasi dalam menghadapi situasi sebenar-benarnya peperangan di hutan dan kawasan pantai.(by Pocong Syereem)
*JKGR*

Jumat, 20 Juni 2014

[America] Sadap Seluruh Dunia, NSA Gunakan 33 Negara

Daftar puluhan negara yang digunakan NSA untuk penyadapan global. Foto: Russia Today/NSA File

Washington ★ Amerika Serikat telah membuat kesepakatan rahasia dengan 33 negara  sebagai pihak ketiga untuk membantu misi NSA dalam menyadap lalu lintas  internet di seluruh dunia. Dari 33 negara itu, ada dua tetangga  Indonesia yang terlibat, yakni Singapura dan Thailand.

Ulah Badan Nasional Keamanan (NSA) itu terungkap berkat bocoran dokumen  dari mantan kontraktor NSA, Edward Joseph Snowden,31. Bocoran itu  pertama kali dilansir media-media Denmark.

“Operasi NSA menyapu sejumlah besar komunikasi dengan kecepatan kilat,”  tulis The Intercept. NSA mengandalkan 33 negara itu, karena kesulitan  menyadap internet dari negara asal atau target.

”Telah banyak dilaporkan bahwa NSA bekerja sama dengan instansi di  Inggris, Kanada, Selandia Baru, dan Australia sebagai bagian dari apa  yang disebut aliansi Spionase Lima Mata,” lanjut media Denmark itu yang  dikutip Russia Today, semalam (19/6/2014).

“Tapi dokumen terbaru Snowden menunjukkan bahwa sejumlah negara lain,  dijelaskan oleh NSA sebagai ‘mitra pihak ketiga’, memainkan peran yang  semakin penting. Dengan diam-diam membiarkan NSA untuk memasang  peralatan pengawasan pada kabel serat optik mereka,” imbuh Dagbladet,  media Denmark lainnya.

Bocoran dokumen yang disediakan oleh Snowden sebelumnya telah  menunjukkan bagaimana AS menyentuh kabel optik di negara-negara  sekutunya, baik atau tanpa kerjasama dengan tuan rumah.

Menurut bocoran terbaru, NSA di tempat-tempat tertentu mampu  mengumpulkan data intelijen yang berkaitan dengan orang-orang asing yang  tidak akan mudah didapat dengan perjanjian yang ada.

NSA menolak untuk mengomentari laporan soal dugaan berkomplot dengan  intelijen asing dalam aksi penyadapan global. Snowden, yang saat ini  bersembunyi di Rusia dari buruan aparat intelijen AS pernah menyatakan  bahwa dia tidak bermaksud mempermalukan negaranya, namun hal itu  dilakukan atas nurani manusia yang mempunyai hak dan privasi yang tidak  boleh diusik oleh siapa pun termasuk NSA.(mas)


AMX-13 Retrofit TNI AD: Tetap Andalkan Meriam dengan Kubah Osilasi


Bila Korps Marinir TNI AL punya tank legendaris PT-76, maka kavaleri TNI AD punya padanannya, yakni tank ringan AMX-13. Keduanya diboyong ke Tanah Air dalam periode yang sama, saat Indonesia tengah menyongsong operasi Trikora di awal era 60-an. Seperti halnya PT-76, nasib AMX-13 nyatanya tak lekang ditelan jaman, justru usia senja kedua ranpur terus diperpanjang lewat retrofit dan modernisasi sistem senjata.

Lebih khusus tentang AMX-13, namanya begitu familiar di lingkungan pemerhati alutsista. Pasalnya inilah tank utama TNI AD hingga empat dekade, sebelum akhirnya TNI AD mendatangkan generasi tank ringan Alvis Scorpion dari Inggris pada 1995. Dengan kuantitas yang cukup besar, disebutkan ada 400-an unit AMX-13 di lingkungan TNI AD dalam beragam versi (Wikipedia menyebut TNI AD punya 275 AMX-13 versi kanon), membuat tank ini terus diupayakan untuk operasional hingga 20 tahun kedepan. Meski beberapa unit sudah dipajang sebagai monumen di beberapa kesatuan, tak menyurutkan TNI AD untuk memordenisasi tank besutan Perancis ini.

Bicara soal retrofit di AMX-13, sudah dilakukan beberapa tahap oleh TNI AD. Seperti pada tahun 1995, Direktorat Peralatan Bengkel Pusat Peralatan TNI-AD meretrofit dengan pemasangan mesin Detroit Diesel DDA GM6V-53 T, 6 silinder 2 langkah turbocharged dengan daya 290 BHP/2800 RPM dan Torsi 91,67 KGM/1600 RPM yang mampu meningkatkan power weight ratio dan pemakaian bahan bakar lebih hemat. AMX-13 retrofit tahun 1995 ini menggunakan transmisi otomatis ZF 5WG-180 dengan 5 percepatan maju dan 2 percepatan mundur, hal ini tentu lebih memudahkan pengoperasian tank. Untuk suspensi mengadopsi tipe hydropnematic “Dunlostrut”, meningkatkan kemampuan lintas medan dan mampu menambah kenyamanan awak tank. Retrofit ini berlanjut tahun 2011, sekitar 50-an lebih AMX-13 mengalami retrofit kembali di PT Pindad Bandung. Ini artinya masih lebih banyak AMX-13 TNI AD yang belum di retrofit.

AMX-13 TNI AD dengan versi retrofit terbaru.
Mengusung meriam 105 mm dengan sistem pemandu tembakan terbaru.
Tetap mengandalkan kubah osilasi, tampilan kini lebih kekar dan 
sangar pada bagian hull.
Standar AMX-13 menggunakan mesin SOFAM 8Gxb yang memiliki 8 silinder dan berpendingin air dan berbahan bakar bensin, mampu menyemburkan daya 270 bhp pada 3.200 rpm sehingga AMX-13 dapat mencapai kecepatan maksimal 65km/jam. Konsumsi bensin inilah yang dipandang memberatkan dalam sisi operasional.

Barulah pada awal 2014, prototipe AMX-13 retrofit berhasil dirampungkan dan sosoknya telah dipublikasikan. AMX-13 hasil retofit terbaru ini memiliki tampang yang sedikit berbeda dengan aslinya. Untuk hull misalnya, terpaksa ditambah panjang sekitar 20 cm untuk mengakomodir mesin anyar. Mesinnya sendiri memakai produk Navistar dari Amerika Serikat dengan daya sebesar 400HP.

Tampak samping.
Deretan AMX-13 yang siap di retrofit.
Retrofit Sistem Senjata, Bertahan di Kubah Osilasi

Tentu akan terasa ganji bila retrofit hanya dilakukan pada sisi mesin, sistem senjata nyatanya harus mendapat porsi yang sama. Ambil contoh PT-76 Marinir TNI AL, yang aslinya menggunakan meriam kaliber 76 mm, kemudian di upgrade dengan meriam Cockerill kaliber 90 mm. Nah, pada AMX-13 kasusnya agak beda. Kaliber maksimum pada meriam tidak ditingkatkan, jenis kubah pun masih sama, yakni dengan model osilasi. Hanya bedanya, sistem bidik pada meriam sudah diremajakan sesuai kebutuhan operasi.

Sistem senjata pada kubah telah dicangkokkan sistem kendali penembakan (FCS/Fire Control System) modern yang sudah memasukkan input dari sistem Laser Range finder (LRF) untuk memastikan jarak antara tank ke sasaran. Dikutip dari situs arc.web.id, disebutkan sistem FCS yang digunakan bukanlah standar kubah FL-12 yaitu SOPTAC-18 buatan firma Sopelem, tetapi merupakan FCS modern buatan salah satu negara Eropa Barat. Bahkan untuk pengemudi pun disediakan sistem pengemudian berbasis LCD yang menginkorporasikan kamera FLIR/Thermal untuk melancarkan navigasi pada kondisi gelap malam.

Kubah osilasi, menjadi ciri khas ranpur lawas.
Loading amunisi
Palka loading amunisi pada bagian atas kubah.
Untuk amunisi mengadopsi jenis HE (high explosive) buatan firma Hinterberger dan OCC105G1 yang merupakan amunisi APFSDS (Armor Piercing Fin Stabilised Discarding Sabot) untuk menjebol tank lawan. Berdasarkan data pabrikan, amunisi OCC105G1 mampu menembus lapisan baja RHA setebal 250mm pada kemiringan 30o dari jarak 1.000m, atau kurang lebih cukup untuk melalap ranpur/ tank medium dari segala sudut.

Kubah Osilasi

Bagi kami, hal yang unik dan menjadiciri pada AMX-13 adalah penggunaan kubah osilasi (oscillating turret) tipe FL (FL-10, FL-11, dan FL12) buatan Fives Babcock Cail. Dan kini AMX-13 menjadi satu-satunya tank operasional di dunia saat ini yang menggunakan sistem ini. Kubah osilasi tersebut sebenarnya amat sederhana, dimana ada dua bagian utama yang bekerja. Bagian pertama yaitu struktur pendukung, menempel ke cincin kubah sebagai pendukung dua trunnion yang menjepit laras meriam. Trunnion ini bisa dinaik-turunkan, didongakkan dan ditundukkan, sementara posisi dudukan meriamnya sendiri relatif tetap.

AMX-13 dengan meriam 105 mm.
AMX-13 dengan meriam 75 mm.
Sementara bagian kedua yaitu kubah diatasnya menaungi meriam, sistem pengisi otomatis, perangkat pengendali tembakan, radio, dan kursi untuk awak pengisi dan komandan. Kunggulan kubah osilasi ini adalah desain yang sederhana, sehingga memudahkan sistem pengisi otomatis yang ditanamkan di bagian belakang AMX-13. Dengan kubah osilasi, posisi dari pengisi munisi otomatis selalu sejajar dengan lubang peluru (breech) pada kanon AMX-13.

Kelemahannya sudah jelas, sudut dongak dan tunduk laras kanon menjadi sangat terbatas. Keunggulan lain sistem osilasi membuat laras kanon tidak membutuhkan bukaan di depan kubah/ mantlet seperti pada desain konvensional sehingga meminimalkan kemungkinan penetrasi munisi lawan pada bagian yang lemah tersebut.

Sistem pengisi otomatis AMX-13 ditempatkan pada bagian belakang kubah (bustle), yang terdiri dari dua silinder yang masing-masing mampu menampung enam butir peluru. Tiap silinder diletakkan di sisi jalur gerak breech ke arah belakang. Saat kanon menyalak dan bergerak ke belakang, silinder magasen ini berputar, yang kemudian melepaskan sebutir peluru yang kemudian meluncur ke pelat pengisi yang membawanya sejajar dengan kamar peluru, lalu didorong kedalam. Saat ditembakkan, kelongsong peluru dilontarkan melalui lubang bulat di belakang bustle. Dengan 12 peluru terisi, AMX-13 dapat menembak secara terus-menerus, menjadi tank pendobrak yang memiliki daya gempur luar biasa. Sayangnya, begitu amunisi di revolver munisi habis, AMX-13 harus ditarik mundur karena pengisian pelurunya harus dilakukan secara manual.

TNI AD mempunyai dua tipe AMX-13 versi kanon, yaitu AMX-13 dengan meriam kaliber 105 mm dan AMX-13 dengan meriam kaliber 75 mm. AMX-13 dengan meriam 75 mm menggunakan kubah versi FL-11. Kubah ini dikembangkan pada tahun 50-an, dan digunakan untuk misi di Afrika Utara. Selain AMX-13, ranpur lain yang menggunakan kubah ini adalah Panhard EBR yang juga pernah digunakan oleh kavaleri TNI AD. Sementara AMX-13 dengan meriam 105 mm menggunakan kubah versi FL-12, versi kubah FL-12 inilah yang tetap dipertahankan dalam retrofit terkini AMX-13.

AMX-13 TNI AD dengan meriam 75 mm.
AMX-13 TNI AD dengan meriam 75 mm.
AMX-13 dengan meriam 105 mm. (Perhatikan perbedaan pada ujung laras).
Tank Ideal Untuk Postur Orang Asia

Karena batasan bobot yang dibuat untuk AMX-13, maka hal ini membawa konsekuensi pada mungilnya dimensi AMX-13. Akibatnya, awak AMX-13 tidak boleh memiliki tinggi badan lebih dari 180 cm, dan kompartemen tempur AMX-13 pun terasa sempit. Mengenai tinggi badan awak yang tak boleh lebih dari 180 cm tentu membawa angin segar bagi operator di Asia, maklum rata-rata memang tubuh orang Asia lebih kecil daripada postur orang Eropa.

Begitu pun dengan pengemudi yang duduk didalam hull ataupun komandan dan penembak, semuanya nyaris tak memiliki ruang gerak yang memadai. Andalan untuk melihat keluar hanya ada pada 8 periskop untuk komandan, atau teropong bidik L961 dengan pembesaran 1,5x-6x. Untuk juru tembak tersedia teropong bidik L862 dengan pembesaran 7,5x. Kanon AMX-13 sendiri menggunakan kanon yang diadaptasi dari kanon PzKpfw V Panther, tank Jerman dalam PD II.

Beginilah posisi dudukan awak AMX-13.
Bagian dalam kubah dengan lubang periskop komandan.
Dua silinder (revolver) amunisi AMX-13.
Silinder amunisi.
Jika Panther menggunakan meriam L70, AMX-13 menggunakan meriam serupa dengan kaliber L61.5 (lebih pendek) dan amunisinya menyatu dengan propelan. Untuk dekade 1950an, daya penetrasinya yang sedalam 70 mm pada inklinasi 60o pada jarak 1.000 meter dianggap masih cukup mumpuni untuk melibas tank dan ranpur pada jaman tersebut. Senapan mesin koaksialnya menggunakan senapan mesin Model 1913E kaliber 7,5 mm. Kanon AMX-13 dikendalikan oleh sistem hidrolik untuk elevasi dan traversi, yang memiliki dua setelan kecepatan dan dapat dikendalikan oleh komandan serta juru tembak. Total AMX-13 dapat membawa 36 butir peluru cadangan, 21 didalam kubah dan 15 di hull, dipandang cukup untuk 3 kali pengisian ulang revolver kanon.

Sejarah Pengembangan

AMX-13 sejarahnya di kembangkan oleh pabrikan Atelier de Construction d’Issy-les-Moulineaux (AMX) di tahun 1946 selain untuk memenuhi kebutuhan angkatan bersenjata Prancis, pembuatan tank ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Prancis masih mampu mandiri membangun industri perang dalam negeri walaupun habis porak-poranda akibat dari perang dunia II. AMX-13 dibuat untuk linud agar mudah dipindahkan lewat udara, penunjukkan 13 sendiri awalnya menandakan bobot total tank yang mencapai 13 ton sehingga dinamakan AMX-13.

AMX-13 TNI AD memasuki ruang kargo C-130 Hercules TNI AU.
Tank Sherman juga sempat memakai kubah osilasi FL.
Karena pengembangan ini dibilang sangat lancar dan mulus maka purwarupa pertama muncul pada tahun 1948 dan mulai diproduksi masal mulai tahun 1951, walaupun pada akhirnya bobot tempur AMX-13 sendiri pada finalnya membengkak menjadi 14,5 ton. Karena merupakan tank ringan yang berbobot 14 ton AMX-13 hanya memiliki ketebalan armour mencapai 10-40 mm dan mampu menahan dari segala sisi pecahan peluru artileri dan peluru kaliber 12,7mm. (Bay/dikutip dari berbagai sumber)

Spesifikasi AMX-13
Tipe : tank ringan
Produsen : Atelier de Construction d’Issy-les-Moulineaux
Berat tempur : 14.5 ton
Panjang : 6.35 meter
Lebar : 2.51 meter
Tinggi : 2.35 meter
Awak : 3 orang (komandan, penembak dan pengemudi)
Senjata Kanon : 75 mm / 90 mm / 105 mm – 75 mm dengan 32 amunisi.
Senapan mesin : kaliber 7,62 mm dengan 3600 peluru
Mesin : SOFAM Model 8Gxb 8-cyl. water-cooled petrol250 hp (190 kW) – kini sudah dilakukan upgrade dengan mesin diesel buatan Detroit.
Suspensi : torsi bar
Jarak tempuh : 400 km
Kecepatan : 60 km per jam

Indonesia’s First Satellite Ready for Take Off

The Lapan-A2 microsatellite (the black box in the center) undergoes an electromagnetic compatibility test at the Center for Science and Technology (Puspiptek) in Serpong, Tangerang. (Photo courtesy of Lapan)

T
he bookish, bespectacled chief engineer of Indonesia’s first domestically made satellite briefly explains the six-year journey his team took before the satellite, called Lapan-A2, is ready for launch this year.

“It began in 2008, a year after we successfully launched Lapan-Tubsat, our first microsatellite, ” Mohammad Mukhayadi, of the National Aeronautics and Space Agency (Lapan), said at his office in Rancabungur, Bogor, last month.

“Then we started the development of Lapan-Tubsat’s successor. We call it Lapan-A2, and it’s finally complete.”

Lapan-Tubsat, also known as Lapan-A1, was built in Germany in an ambitious project that taught Indonesia the process of building satellites from scratch: how to procure components for production, how to arrange licenses and how to test the satellite until it is ready for launch.

Lapan-Tubsat was launched from the Indian space center in Sriharikota, in January 2007. Today, seven years after take-off, the satellite is still floating in space, though it began to slowly drift away from its orbit two years ago.

The 57-kilogram satellite continues to transmit earth surveillance video to Lapan ground stations, allowing operators to train themselves on satellite use and data retrieval methods, though the video data is barely of practical use.

“Of course, it is not what we would call operation qualified,” said Robertus Heru Triharjanto, the head of Lapan’s satellite bus technology division. “It is mostly for our own interest, to see how well we can produce pictures.”

He added Lapan will continue to monitor Lapan-A1 to study its degradation.

“We would like to see what seven years in space has done to the satellite; to collect data on which components are still healthy and which are not, and more importantly, why they came to that state.”

The Lapan-A2 is also a microsatellite, weighing 76 kilograms. Any satellite weighing between 10 and 100 kilograms is categorized as a microsatellite. Communication satellites like those used by Indonesian telecommunication firms Telkom and Indosat usually weigh more than a ton.

Indonesia has been purchasing its satellites for telecommunication purposes from other countries, as it has yet to effectively develop the capacity to manufacture its own satellites.

Lapan, with its Lapan A series of microsatellites — of which there will be five — are hoping to develop that capability.

“The goal of Lapan-A1 is capacity building,” Robertus said. “With the second satellite, we want to prove that we are capable of building a satellite. We want to show the public that we have learned from others and we are able to successfully apply our newfound knowledge in constructing a satellite on our own.”

Mukhayadi said he and his team spent two years designing the Lapan-A2 before procuring some components from Germany and producing the remaining components on their own.

The integration work began in 2011 and was completed in August 2012, along with the set of required tests. The integration was entirely done in Indonesia, making Lapan-A2 the country’s first self-designed, home-made satellite.

Lapan-A2, though, will have to wait until April or May before it can enter orbit, as Indonesia is still significantly behind in rocket technology. For a satellite to enter space, it must be launched with a launch vehicle or a carrier rocket.

Therefore, like its predecessor, Lapan-A2 will be launched with an Indian rocket as its “secondary payload”, with the primary payload being India’s first dedicated astronomy satellite Astrosat.

Mukhayadi said piggybacking as a secondary payload is “the cheapest” method, although that meant it would be highly dependant on the primary payload.

“When they’re [India] ready, we will launch our satellite,” he said. “But for now, the main payload is not ready.”

In the meantime, Mukhayadi and his team have been doing maintenance work on the Lapan-A2, regularly checking its “health”.

“The Lapan-A2’s construction is finished, every necessary component has been integrated, so the microsatellite is actually active,” Mukhayadi said.

He enthusiastically showed Jakarta Globe the carefully maintained microsatellite in his dust-free workshop at Lapan’s Satellite Technology Center in Rancabungur.

The black box doesn’t look much different from a household microwave but only slightly bigger.

He showed us the antennas that will be used to control the satellite from earth and to transmit data to earth; the star censor that will determine the satellite’s position in outer space and support its navigation; the solar panel to power the satellite; and the cameras that will be used to capture earth images.

Like Lapan-A1, Lapan-A2 is intended as an earth observation satellite, as opposed to deeper universe observation, which involves even more sophisticated and more expensive technology.

But Lapan-A2 will carry a digital camera, not just an analog video camera, allowing more practical use of data images.

A Lapan engineer performs maintenance on microsatellite Lapan-A2 at the space agency’s Satellite Technology Center in Rancabungur, Bogor. (Photo courtesy of Lapan)

Ultimately, Lapan hopes its satellites will be able to produce remote-sensing images that will help the country monitor its forest covering and forest fires, the span of its agricultural lands, to detect fish catchment areas and examine the condition of disaster-hit areas, among other uses.

Lapan until now has been obtaining such data from other countries’ satellites, which it has been allowed to access through leases or partnerships that otherwise require regular payments of money.

Other than the digital camera, Lapan-A2 will carry two additional payloads, namely the Automatic Identification System (AIS) for ship surveillance — to help monitor maritime traffic in Indonesia — and a text message repeater for the Indonesian Amateur Radio Organization (Orari) for disaster mitigation purposes, which explains the satellite’s other name, Lapan-Orari.

Mukhayadi also showed two sets of components that he said were exact copies of Lapan-A1 and Lapan-A2’s interiors.

“If there’s a problem with the satellites in orbit, we can conduct a test and simulation with devices on the ground,” he said.

For the next satellite, Lapan-A3, the agency will partner with the Bogor Institute of Agriculture (IPB) to develop a payload for agricultural purposes. Robertus said Lapan was also planning to install a magnetometer in the satellite, which will allow the monitoring of solar activities, Lapan’s first attempt to probe the world beyond our earth.

LapanA3’s integration is set for completion next year. The total production cost of the satellite is slightly higher than that of Lapan-A2, at approximately $3.5 million, Robertus said. Lapan-A1 had cost $1 million to make.

Lapan-A4 is projected to be built in 2016, and Lapan-A5 in 2017.

The development of a B series, for remote-sensing satellites, and C series, for communication satellites, has been scheduled to commence in 2018.

The plan is according to Lapan’s satellite development roadmap, drafted before the House of Representatives passed the Space Law in July. After the law’s issuance, the agency has expressed high hopes to accelerate its implementatio

A new arm: Space LawIndonesian lawmakers may have failed to explain to the public the significance of the new space law, the aspects of which are quite esoteric.

Sutan Bhatoegana, the head of the House of Representatives’ Commission VII on energy and technology, which dealt intensively with the bill before it was passed into law, cryptically explained that it —the new space law — “has to do with satellites, which are important for communication.”

But the law is much more than that.

It mandates Lapan to develop satellite and rocket technology, to carry out peaceful uses of such technology, and it mandates the government to pursue bilateral or international cooperation that will enable a transfer of technology.

The law regulates the construction of a space port, investigation of space-related accidents (including space debris or meteorites falling within Indonesia’s territory), and partnerships with the private sector.

It paves the foundation for a space industry in a country that has been moving at slower than a snail’s pace in its space sector, despite the establishment of the agency 50 years ago. Lapan was set up in 1963, under Indonesia’s first president, Sukarno.

“The government and the House might have deemed [the space sector] too high a technology, while there have been many other things they still need to take care of,” Agus Hidayat, the head of Lapan’s cooperation and public relations bureau, said at the agency’s headquarters in Jakarta.

“But the birth of this law has been fully supported by the House. I guess now the government and the House are at the same frequency. At least their awareness of the sector is becoming more concrete.”

One “concrete” evidence is a budget increase of at least Rp 310 billion ($25.4 million) for 2014, Agus said, and that is more than half the Rp 526 billion amount disbursed to Lapan last year.

The 2013 figure represents only modest increases from Rp 493 billion in 2012 and Rp 466.8 billion in 2011.

The Space Law, though, specifies no sanctions for failure to carry out the aforementioned mandates, so implementation will likely depend heavily on the House.

Agus, though, is confident that the House is committed to developing the space sector, viewing their passage of the law as evidence.

“It is the House’s task to oversee law implementations. So, if they ask us why we fail to develop this or that, we can easily counter, ‘Where’s the money?’ ” Agus said.

“They can’t demand us to build an aircraft if they only give us a budget for a bajaj [three-wheeled car]. If they ensure a smooth flow of our funding, surely we’ll also be able to work smoothly.”

Agus added Lapan was currently drafting a master plan for Indonesia’s space industry development for the next 25 years, which is another mandate of the law.

He envisions the industry, which includes heightened roles for Lapan and extensive involvement of the private sector, to be in existence five years from now.

Robertus, though, thinks it needs at least 10 years for the industry to develop, taking into account the need to build the workforce that will run the industry.

“If we look at the experience of other nations like China or India, usually it takes more than 10 years for the space industry to establish a solid [legal] ground,” Robertus commented.

He envisioned Indonesia to become Asia’s next big space player in that 10-year span — after Japan, China, and India.

“If the new space law can be implemented according to the plan, we are sure to have a good, promising future,” Robertus predicted.

But Hakim L. Malasan, of the School of Astronomy at Bandung Institute of Technology (ITB), highlighted the law’s failure to address the human resources need to support the industry.

“I haven’t seen this law guarantee the development of top human resources in the fields of astronomy and astrophysics, though they will be important for Indonesia’s space industry,” said Hakim, also a vice president of Paris-based International Astronomical Union.

“Clauses on education and the development of relevant educational institutions to train future astrophysicists should have been incorporated in the law.”

He added, nevertheless, that Lapan was already on the right track by learning everything from the ground up, in order to end Indonesia’s reliance on other countries’ space products.

“A classic problem with Indonesia is the lack of will to start from the bottom and develop things from scratch using science. We tend to enjoy being consumers of foreign products,” Hakim said.

“I see that Lapan is already on the right track. It only has to move faster in order to accomplish its roadmap.”
China deal, space war concernsJust a few months after the passage of the Space Law, Indonesia inked in October a partnership deal with China on “the development of space technology for commercial and peaceful purposes”.

The new cooperation also brings hopes to Indonesia’s space sector.

“Why are we interested in China? Because they’re still quite open,” Agus said. “China is probably willing to share a bit of rocket science with us.”

Developing rockets that will launch satellites to outer space is even more difficult and complex than manufacturing the satellites, Agus said.

While Indonesia’s slow satellite technology development is largely attributable to the nation’s lack of commitment to the sector — and thus the lack of funding — for the development of rockets technology there is another, more “sensitive” issue.

“Rocket technology is very different from aircraft and satellite technology. For the latter, other countries are very open, we can learn from them, we can ask them how to make one,” Agus said.

“As for rockets? No way. Developed countries don’t want Indonesia to be advanced in rocket technology because they worry we’ll use it to develop weapons.”

Indonesia, Agus said, really had to start from zero, all on its own, with regards to rocket technology.

The latest rocket Lapan launched in its rocket test center at Pameungpeuk beach in Garut, West Java, only had a range of between 100 and 200 kilometers, less than a third needed for the minimum height of a satellite in orbit, which is around 600 kilometers. Large communication satellites need to be placed even farther: in the geostationary orbit, a circular orbit around 36,000 kilometers above the earth’s equator.

“To be frank, we’ll be very slow in rocket development,” Agus said.

Negotiations with China concerning detailed schemes of the partnership, though, are still underway.

China has so far asked to be allowed to build a ground station in Pare-pare, a port town in Indonesia’s South Sulawesi province, where a Lapan station is also located.

Agus said China needed the station to track its newly launched satellites.
 

A Lapan ground station in Rumpin, Bogor. (JG Photo/Erwida Maulia)

Indonesia, though, has not agreed on anything. “We’re still negotiating. What can we get in return? It’s not good if they get more from us.”

Agus added Indonesia treaded carefully in any space negotiation with another country, citing a perceived space war involving the US and China, in which each country has reportedly been developing their own anti-satellite weapons.

The US especially, according to a Reuters report in May last year, has remained concerned about China’s development of its anti-satellite capacity after Beijing shot its own defunct weather satellite in 2007, creating a multitude of space debris. The action caused protests from nations worldwide because of the potential harm the space debris may cause to their respective operating satellites.

In the following year, the US shot its non-functioning intelligence satellite while it was entering the earth’s atmosphere.

Mukhayadi said during the six years of Lapan-A1’s operations, Lapan has received three or four alerts on near collision with space debris, although all of them were easily avoided with a small amount of maneuvering commanded by Lapan’s ground stations.

Indonesia doesn’t want to be dragged into the “new frontier” competitions, directly or not. The Space Law appears to have anticipated this, banning any space activities for non-peaceful purposes, although again it fails to offer sanctions.

“Surely we have concerns about this issue, which is why we need to be very careful with this law. We can no longer simply accept an offer as it is,” Agus said.

“That’s why negotiations with China have been quite difficult. We don’t want to be dictated.”

Agus added that in addition to China, Russia and India have also quite aggressively approached Indonesia, offering space cooperation.

He said they were particularly interested in the archipelago’s geographical advantage, specifically its position under the geostationary orbit (GSO). An object put in this orbit will appear stationery relative to the rotating earth, and holds most of the world’s communication and weather satellites in orbit.

“GSO is the sexiest site to place satellites, particularly communication satellites, because gravity is almost zero there, which means the energy needed to maintain satellites [in GSO] is smaller than in the orbits beneath,” Agus said. “Our GSO territory is very long compared with other nations, equal with Brazil.”

Indonesia recently decided to reject Russia’s offer to build an air launch in Biak, Papua, citing local residents’ rejection and safety reasons. In the past few years, Russia had been offering Indonesia a partnership that will use the new technology — launching satellites off a flying aircraft rather than a ground launchpad.

And although the US has remained silent about all those other growing space nations’ — especially China’s — moves to approach Indonesia, Agus said he believed the US is keeping a close watch.

“I’m sure they’ve been doing that silently, albeit never explicitly.”
National pride, or financial gain?In the end, this is not about national pride, Agus said, though he proudly claimed Indonesia was quite advanced in its satellite technology compared with its Southeast Asian neighbors.

“If you talk about a manned mission, or lunar or Mars exploration, I think those are more about prestige; to show other nations that they are now inferior,” Agus said. “But our need is real, especially with regards to earth observation.”

He said Indonesia wishes to build its own ground stations, to operate its own satellites, to end its reliance on other nations such as the US and France, from which the country has been “renting” satellites to gain access to crucial earth observation data.

China and India have also been offering to sell such data to Indonesia, while Singapore is developing commercial satellites for a similar purpose, Agus said.

“Once we have mastered earth observation, at least we can end that reliance. So, this is not about prestige; we really need that [independence].”

It doesn’t hurt, though, to consider China’s offer for a manned mission, Agus added. He said sending an astronaut to outer space would likely be incorporated in Lapan’s 25-year master plan.

Indonesia almost had its first astronaut when microbiologist Pratiwi Sudarmono, now 61, was selected in 1985 to take part in a NASA space shuttle mission as a payload specialist.

The mission was cancelled, though, after NASA’s space shuttle Challenger, which was supposed to carry Pratiwi to space, exploded before her scheduled mission in 1986. Pratiwi has since then been focusing on her academic career. She is now a microbiology professor at the University of Indonesia.

But before Indonesia can make up its mind whether launching a manned mission is necessary, this year the country will finally have its first astronaut in the outer space anyway.

Rizman A. Nugraha, a 24-year-old web designer, is among 23 people from around the world selected in December to board shuttle spaces under Axe Apollo Space Academy, which is sponsored by consumer goods giant Unilever.

Rizman, who has been undergoing training at the Kennedy Space Center in Florida, will board a two-seated space shuttle called the XCOR Lynx Mark II, with a pilot.*THE_JAKARTA_GLOBE*